Minggu, 04 Agustus 2013

Lailatul Qodr

Malam Lailatul Qodr

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1).

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ(2).

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ(3)

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ(4).

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ(5)

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan.

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadr: 1-5)
Ø  Pengertian Lailatul Qodr
Para ulama menyebutkan beberapa sebab penamaan Lailatul Qadar (Qadr), di antaranya:
1.       Pada malam tersebut Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan secara terperinci takdir segala sesuatu selama 1 tahun (dari Lailatul Qadar tahun tersebut hingga Lailatul Qadar tahun yang akan datang), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang bermaksud:
1.
“Sesungguhnya Kami telah menurukan Al-Qur`an pada malam penuh barakah (yakni Lailatul Qadr). Pada malam itu didedahkan segala urusan (takdir) yang penuh hikmah”. (Ad Dukhan: 4)
2.       Kerana besarnya kedudukan dan kemuliaan malam Lailatul Qadar tersebut di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ketaatan pada malam tersebut mempunyai kedudukan yang besar dan pahala yang banyak lagi mengalir. (Tafsir Ath-Thabari )

Ø  Kapan Terjadinya Lailatul Qodr

Di dalam Al-Qur'an tidak diterangkan pada malam ke berapa malam Lailatul-Qodar itu jatuh, tetapi didalam Hadits diterangkan bahwa sesungguhnya Rosululloh : “Beri'tikaf pada 10 hari awal di bulan Romadlon menginginkan malam Lailatul-Qodar, kemudian beliau beri'tikaf pada 10 hari pertengahannya dan mengatakan (yang artinya): “Sesungguhnya malam Lailatul-Qodar itu jatuh pada 10 hari akhir di bulan Romadlon'. Beliau melihatnya dan beliau sujud diwaktu shubuh ditempat yang berair bercampur tanah, kemudian pada malam ke 21 disaat beliau I'tikaf turunlah hujan maka mengalirlah air hujan tersebut pada atap masjid karena masjid Nabi terbuat dari anjang-anjang. Beliau menjalankan sholat subuh bersama para sahabatnya kemudian beliau sujud. Anas bin Malik berkata: 'Aku melihat bekas air dan tanah dikeningnya, maka beliau sujud ditempat yang berair bercampur tanah” (HR. Bukhori no. 669 dan 2016, Muslim no. 1167 dan 216 dari shohabat Abu Sa'id Al-Khudri ).
Hadits di atas menunjukkan bahwa malam Lailatul-Qodar pada saat itu jatuh pada malam yang ke 21. Sedangkan para sahabat Rosululloh melihat dalam mimpi mereka bahwa malam Lailatul-Qodar jatuh pada malam ke 27. (HR. Bukhori no. 2015, Muslim no. 1165 dari shohabat Abdulloh bin 'Umar ).
Yang shohih dari perbedaan para ulama tentang jatuhnya malam Lailatul-Qodar pada 10 hari terakhir adalah berpindah-pindah pada setiap tahunnya, terkadang pada tahun ini jatuh pada malam yang ke 21, kemudian pada tahun berikutnya jatuh pada malam yang ke 29, 25 atau 24.
Adapun hikmah berpindah-pindahnya malam Lailatul-Qodar supaya orang-orang yang malas menjalankan ibadah, mereka bersemangat untuk menjalankan ibadah pada 10 hari terakhir di bulan Romadlon. Hikmah yang lainnya juga yaitu agar menambah amal shalih seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Syaikh Utsaimin)


Ø  Tanda-tanda Lailatul Qodr

Lailatul Qodr mempunyai beberapa tanda, baik ketika sedang terjadi maupun setelah terjadinya.

Adapun tanda-tanda ketika terjadi diantaranya:

1.       Sinar cahaya sangat kuat pada malam Lailatul-Qodar dibandingkan dengan malam-malam yang lainnya.
2.       Bertambah kuatnya cahaya pada malam itu.
3.       Ketenangan dan kelapangan hati yang dirasakan oleh orang-orang yang beriman lebih kuat dari malam-malam yang yang lainnya.
4.       Angin dalam keadaan tenang pada malam Lailatul-Qodar, tidak berhembus kencang tidak ada badai dan tidak ada guntur. Hal ini berdasarkan hadits dari shohabat Jabir bin Abdillah sesungguhnya Rosululloh bersabda:
“Sesungguhnya Aku melihat Lailatul-Qodar kemudian dilupakannya, Lailatul-Qodar turun pada 10 akhir (bulan Romadlon) yaitu malam yang terang, tidak dingin dan tidak panas serta tidak turun hujan”. (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2190 dan Ibnu Hibban no. 3688 dan dishohihkan oleh keduanya).
Kemudian hadits dari 'Ubadah bin Shomit sesungguhnya Rosululloh bersabda “Sesungguhnya alamat Lailatul-Qodar adalah malam yang cerah dan terang seakan-akan nampak didalamnya bulan bersinar terang, tetap dan tenang, tidak dingin dan tidak panas. Haram bagi bintang-bintang melempar pada malam itu sampai waktu subuh. Sesungguhnya termasuk dari tandanya adalah matahari terbit pada pagi harinya dalam keadaan tegak lurus, tidak tersebar sinarnya seperti bulan pada malam purnama, haram bagi syaithon keluar bersamanya (terbitnya matahari) pada hari itu”. (HR. Ahmad 5/324, Al-Haitsamy 3/175 dia berkata : perawinya tsiqoh)
5.       Terkadang Alloh memperlihatkan malam Lailatul-Qodar kepada seseorang dalam mimpinya. Sebagaimana hal ini terjadi pada diri para shahabat Rosululloh .
6.       Kenikmatan beribadah dirasakan oleh seseorang pada malam Lailatul-Qodar lebih tinggi dari malam-malam yang lainnya.


Adapun alamat setelah terjadi diantaranya:

Matahari terbit pada pagi harinya dalam keadaan tidak tersebar sinarnya dan tidak menyilaukan, berbeda dengan hari-hari biasanya. Hal ini berdasarkan hadits dari shohabat Ubay bin Ka'ab yang mengatakan: “Sesungguhnya Rosululloh mengkabarkan kepada kami: 'Sesungguhnya Matahari terbit pada hari itu dalam keaadaan tidak tersebar sinarnya'”. (HR. Muslim no. 762, 2/828)

Adapun tanda yang menyebutkan bahwa tidak ada atau sedikit gonggongan anjing pada malam Lailatul-Qodar adalah tidak benar, karena terkadang dijumpai pada 10 malam terakhir dibulan Romadlon anjing dalam keadaan menyalak/menggonggong. (Syaikh Utsaimin)

Jumat, 02 Agustus 2013

Sholat 'Ied

Sholat ‘Ied
A.      Hukum Sholat ‘Ied
Sholat Ied  adalah sunnah muakkadah seperti sholat wajib . Alloh Ta’ala memerintahkannya dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (Al-Kautsar: 1-2)
Alloh Ta’ala mengingatkan keberuntungan seorang hamba dengan kedua sholat tersebut. Alloh Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri. Dan ingat nama Tuhannya, lalu dia sholat.” (Al-A’la:14-15)
Rosululloh Sholallohu Alaihi wa Sallam biasa mengerjakan kedua sholat tersebut, memerintahkannya, dan mengerahkan wanita-wanita dan anak-anak untuk menghadirinya. Kedua sholat tersebut adalah satu syi’ar Islam dan salah satu fenomena di mana iman dan taqwa terlihat jelas.
B.      Waktu Sholat ‘Ied
Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”
Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.
C.      Tempat Pelaksanaan Sholat ‘Ied
Yang utama adalah melaksanakan shalat ‘Id di tanah lapang, kecuali jika ada uzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri radhiyallau ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar rumah pada hari ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang”  (HR. Bukhari dan Muslim)
D.      Tatacara Sholat ‘Ied
Syarat, rukun dan sunahnya sama seperti salat yang lainnya. Hanya ditambah beberapa sunah sebagai berikut :
1.       Berjamaah
2.       Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua
3.       Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir.
4.       Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.
5.       Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua. Atau surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua.
6.       Imam menyaringkan bacaannya.
7.       Khutbah dua kali setelah salat sebagaimana khutbah jum’at
8.       Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul Adha tentang hukum –hukum Qurban.
9.       Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.
10.   Makan terlebih dahulu pada salat Idul Fitri pada Salat Idul Adha sebaliknya.

E.       Petunjuk Nabi Sholallohu Alaihi wa Sallam dalam Sholat ‘Ied

1.       Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menunaikan shalatnya di masjid kecuali sekali saja, yaitu karena hujan.
2.       Pada saat hari Raya ‘Idul Fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian terbaik (terindah).
3.       Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan kurma -dengan jumlah ganjil- sebelum pergi melaksanakan shalat ‘ied. Tetapi pada ‘Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru beliau memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
4.       Dianjurkan untuk mandi sebelum pada hari ‘ied sebelum ke tanah lapang, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu Umar yang dikenal semangat mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5.       Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berjalan (menuju tanah lapang) sambil berjalan kaki. Beliau biasa membawa sebuah tombak kecil. Jika sampai di tanah lapang, beliau menancapkan tombak tersebut dan shalat menghadapnya (sebagai sutroh atau pembatas ketika shalat).
6.       Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri (agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrinya) dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha (supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya).
7.       Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali setelah matahari terbit, lalu beliau bertakbir dari rumahnya hingga ke tanah lapang.
8.       Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di tanah lapang langsung menunaikan shalat tanpa ada adzan dan iqomah. Tidak ada juga ucapan, ‘Ash Sholatul Jami’ah‘. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sahabatnya tidak menunaikan shalat sebelum (qobliyah) dan sesudah (ba’diyah) shalat ‘ied.
9.       Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ‘ied dua raka’at terlebih dahulu kemudian berkhutbah. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut setelah Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Tidak disebutkan bacaan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa bacaan ketika itu adalah berisi pujian dan sanjungan kepada Allah ta’ala serta bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan pula bahwa Ibnu Umar (yang dikenal semangat dalam mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.
10.   Setelah bertakbir, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah dan surat “Qaf” pada raka’at pertama serta surat “Al-Qamar” pada raka’at kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-A’la” pada raka’at pertama dan “Al-Ghasyiyah” pada raka’at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku’ dilanjutkan takbir 5 kali pada raka’at kedua lalu membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.
11.   Setelah menunaikan shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
12.   Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di tanah dan tidak ada mimbar ketika beliau berkhutbah.
13.   Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memulai khutbahnya dengan ‘Alhamdulillah…‘ dan tidak terdapat dalam satu hadits pun yang menyebutkan beliau memulai khutbah ‘ied dengan bacaan takbir. Hanya saja dalam khutbahnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak bacaan takbir.
14.   Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada jamaah untuk tidak mendengar khutbah.
15.   Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at untuk mencukupkan diri dengan shalat ‘ied saja dan tidak menghadiri shalat Jum’at.

16.   Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang (dari shalat) ‘ied.

Kamis, 01 Agustus 2013

Zakat Fitri



Zakat Fitri
A.      Pengertian
Zakat menurut bahasa artinya : bersih, tumbuh dan terpuji. Menurut istilah (para ahli fiqih) zakat adalah kadar harta tertentu yang diberikan kepada para mustahiq (yang berhak) menerimanya dengan beberapa syarat.
Zakat fitri adalah zakat diri yang dikeluarkan oleh setiap muslim yang hidup yang memiliki kelebihan biaya untuk dirinya beserta keluarganya dan dari biaya pembayaran hutang diwaktu hari raya berupa makanan pokok yang mengenyangkan sebanyak satu sha’ dan satu sha’ ialah empat genggaman dua telapak tangan atau  2,5 Kg beras atau 3,1 liter beras.
B.      Hukum Zakat Fitri
Dari Abdulloh bin Umar Radhiyallohu Anhuma berkata, Rosululloh Shallallahu Alaihi wa Sallam  mewajibkan zakat fitri pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum terhadap budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil, dan orang dewasa dari kaum Muslimin (Mutafaq Alaihi)
C.      Hikmah disyari'atkannya Zakat Fitri
Di antara hikmah disyari'atkannya zakat fitri adalah:
1.       Zakat fitrah merupakan zakat diri, di mana Allah memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan nikmat-Nya.
2.       Zakat fitrah juga merupakan bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan bersukacita dengan segala anugerah nikmat-Nya.
3.       Hikmahnya yang paling agung adalah tanda syukur orang yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa.
4.        Di antara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung dalam hadits Ibnu Abbas radhiAllahu 'anhuma di atas, yaitu puasa merupakan pembersih bagi yang melakukannya dari kesia-siaan dan perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makan kepada fakir miskin.

D.      Besarnya Zakat Fitri dan Jenis-jenis Makanan yang Dijadikan Zakat Fitri
Besarnya Zakat Fitri ialah satu sha’ dan satu sha’ ialah empat genggaman dua telapak tangandan dikeluarkan dari makanan pokok daerah setempat; gandum, kurma, beras, susu kering  dan lain sebagainya, karena Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallohu Anhu berkata, “Ketika Rosululloh Shallallahu Alaihi wa Sallam  masih bersama kami, maka kami keluarkan Zakat Fitri untuk anak kecil, orang dewasa, orang merdeka, dan budak sebesar satu sha’ makanan, atau satu sha’ dari susu kering, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ anggur kering.” (Muttafaq Alaih)

E.       Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fitri Selain dari Makanan Pokok
Zakat Fitri wajib dikeluarkan dari jenis makanan dan tidak boleh diganti dengan uang kecuali untuk kondisi darurat, karena tidak ada dalil dari Rosululloh Shallallahu Alaihi wa Sallam  bahwa beliau membayar Zakat Fitri dengan  uang sebagai ganati makanan, bahkan tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa sahabat mengeluarkan Zakat Fitri dengan uang.
F.       Waktu Pembayaran Zakat Fitri

1.        Waktu wajib, yaitu ketika mendapati sebagian dari bulan Ramadhan dan sebagian dari bulan Syawwal.
2.       Waktu jawaz (boleh), yaitu mulai awal Ramadhan. Dengan catatan orang yang telah menerima fitrah darinya tetap dalam keadaan mustahiq (berhak menerima zakat) dan mukim saat waktu wajib. Jika saat wajib orang yang menerima fitrah dalam keadaan kaya atau musafir maka wajib mengeluarkan kembali.
3.       Waktu fadhilah (utama), yaitu setelah terbitnya fajar hari raya (1 Syawwal) sebelum pelaksanaan shalat ied.
4.       Waktu makruh, yaitu setelah pelaksaan shalat ied hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal, kecuali karena menunggu kerabat atau tetangga yang berhak menerimanya.
5.       Waktu haram, yaitu mengakhirkan hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal.

G.     Penerima Zkat Fitri
“Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Qs. At-Taubah:60)
Ayat di atas menerangkan tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Jika kata “zakat” terdapat dalam Alquran secara mutlak, artinya adalah ‘zakat yang wajib’. Oleh sebab itu, ayat ini menjadi dalil yang menguraikan golongan-golongan yang berhak mendapat zakat harta, zakat binatang, zakat tanaman, dan sebagainya.
Meskipun demikian, apakah ayat ini juga berlaku untuk zakat fitri, sehingga delapan orang yang disebutkan dalam ayat di atas berhak untuk mendapatkan zakat fitri? Dalam hal ini, ulama berselisih pendapat.
Pertama, zakat fitri boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan firman Allah pada surat At-Taubah ayat 60 di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan zakat fitri dengan “zakat”, dan hukumnya wajib untuk ditunaikan. Karena itulah, zakat fitri berstatus sebagaimana zakat-zakat lainnya yang boleh diberikan kepada delapan golongan. An-Nawawi mengatakan, “Pendapat yang terkenal dalam mazhab kami (Syafi’iyah) adalah zakat fitri wajib diberikan kepada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat harta.” (Al-Majmu’)

Kedua, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut, selain kepada fakir dan miskin. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim.